Pendahuluan
Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu
sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam,
istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian,
kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa
seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf.
Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan
oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan
usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak
melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam
bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali
(kekasih) Allah ta’ala
“…Mereka (orang-orang khawarij)
selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka
selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan
mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…”
(HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “… Bacaan Al Quran kalian (wahai para
sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka,
(demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat
mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan
puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul
Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)
Maka pada hadits yang pertama Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang
selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan
tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu
mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah
yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu
‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum
berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)
Yang kemudian prinsip ini diterapkan
dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang
meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak
dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza
wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi
slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat
masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu
pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka
itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk
kebatilan.”
Semoga Allah ‘azza wa jalla
Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam
kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan
cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang
menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu
terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai
kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan
oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu
atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati
ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum
berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah
(sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga
(akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah,
tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah
prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf,
agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran
tasawuf ini.
Definisi Tasawuf/Sufi
Kata “Shufi” berasal dari bahasa
Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf”
(kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu
selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai
pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al
Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii
Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’
Al Madkhali).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini
termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang
artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya:
penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan:
“Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam
teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat
Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki
harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut
sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat
kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen),
tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya
pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza
wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya
pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan
huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah”
(orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan
pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya
adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang
bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari
bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di
dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah)
setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun
lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak
populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau
seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya
penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut
tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi
tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada
suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam
islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat
kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).
Lahirnya Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah istilah yang sama
sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan
tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini.
(Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan
tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga
generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani
dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al
Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan
bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai
dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak
terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf
adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara
keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai
mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga
orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena
mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik
kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain
pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah
dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas
sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu
memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang
yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia,
padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup
ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku
para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam
kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika
kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang
dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab
tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang
sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan
sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini
dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang
terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru
sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan
model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi
dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan
di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal
ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli
tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami
maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak
melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang
terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al
Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf
tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.



0 komentar:
Posting Komentar